Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mengapa Kita Harus Berteman?

   Sebagai orang yang egois, berprinsip berdikari, jarang sekali aku memiliki kawan. Masih teringat jelas dalam benakku kata-kata dari teman terakhirku “Sikap dinginmu, egomu akan menjauhkanmu”, apa yang dapat dirubah dengan kata-kata itu, aku lebih tau dan memahami siapa diriku. Kata dari hatiku itulah yang selalu memicu dan membantah pernyataan itu. Hari-hariku kuisi dengan menyibukkan diri sendiri dengan hal-hal umum seperti pelajar lainnya, tak ada yang berbeda kecuali aku selalu mmonopoli semua tugas kelompok denga presepsiku. Bagiku bukankah akan lebih baik jika aku yang mengeksekusinya.
Kata-katakupun tidak terlalu banyak dan dingin adalah ciriku, dengan begini aku bisa tenang dan tetap tegak dalam membala rasa kekecewaanku karena mereka. Tahukah kamu sebelum aku memulai membangun relasi dengan mereka, aku memiliki seorang sahabat yang tidak dapat dipisahkan dari hidupku, kami biasa mengerjakan semuanya bersama, namun setelah kepindahannya entah kemana, semuanya menjadi berubah. Bukan dia yang menyebabkanku seperti ini namun mereka. Mereka yang tak memiliki sifat seperti kawanku itu, mereka menghampiri dan merangkulku hanya untuk kepentingan-kepentingan mereka, isi kepala dan fasilitas-fasilitas yang kumiliki. Namun ketika rodaku berada dibawah, satu persatu dari mereka pergi menjauh melupakan apa yang sudah kulakukan untukknya dan mereka mulai mengatakan apa yang seharusnya tidak mereka katakana. Semenjak itulah aku mulai menjauh dan berhenti menjalin hubungan dengan semuanya, kecuali dengan myfamily. Perlahan-lahan aku mencoba bangkit dari kondisi ini, hingga pada akhirnya kehidupanku berada didalam masa puncaknya. Satu persatu dari mereka mulai merapat kembali, terlambat itulah isi hatiku, kemana kalian disaat aku butuh, lantas Mengapa Kita Harus Berteman?.

Seiring dengan kesibukan kedua orang tuaku yang semakin padat, aku menjadi merasa sepi didunia ini, pasalnya kalau bukan mereka yang menjadi penghiburku siapa lagi?.
Akhirnya dipenghujung tahun ini aku memutuskan untuk pindah ke desa tempat nenekku, disini aku bersekolah disalah satu SMU swasta. Tak masalah, itulah kata-kata pertama saat tiba didesa ini.
Hari-hari disini kujalani dengan kehidupan ala kota, menatap lurus mengakkan kepala dan tanpa menghiraukan mereka yang datang menyapa, bagiku aku tidak butuh orang-orang ynag akan memberiku sebuah penghianatan. Bukankah kepercayaan itu laksana sebuah kaca yang sangat tipis, dan apabilah engkau telah menjatuhkannya, dapatkah keretakkan atau pecahannya dikembalikan menjadi utuh lagi, that’s too impossible.
Bagiku I’m the king in my own empire.

“Ini adalah desa nak, kekeluargaan dijaga betul disini, tidak ada yang akan kau dapatkan jika kamu terus bersikap seperti ini” ujar nenekku.
Dengan whateverlah aku selalu menutup mata dan telinga, menampakkan punggung dan menghiraukan nasehat-nasehat rentanya.
Tak banyak memang kegiatan yang bisa dilakukan disini, tidak seperti kehidupanku dikota, disini semua berjalan mengalir dan sangat sederhana.
Pada akhirnya aku merasakan pula rasa sepi itu, rasa dimana aku selalu bertanya “dimana aku?” dan “siapa aku”, disaat seperti ini aku  menuju beranda dan duduk diatas kursi bambu tua, dari kejahuan kulihat seorang bertubuh renta dengan jinjingan bakul disebelah kanan dan tongkat yang di tangan kirinya. Melihat nenek renta itu aku terdiam sejanak, “Bukankah hidup itu seharusnya seperti dia?” disalah satu sisi beban harus ditanggung, namun disisi lain juga harus ada yang menopang yaitu sebuah semangat kebahagiaan. Tahukah kalian akan maksudku, andaikan kehidupanku dulu lebih kuperhitungkan mungkin sekarang aku berada dalam posisi seimbang, ada kawan dan ada lawan. Dan mungkin aku juga mampu berdiri tegak diantara keduanya. Tanpa banyak berfikir aku menghampirinya , kuambil dan kubawa bakul dijinjingan kanannya,
“Terimakasih cu” ujarnya lembut.
 aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman kecil, betapa bahagianya beliau saat bebannya aku ambil, dari sini aku bisa belajar bukankah sahabat itu seharusnya seperti itu , meringankan beban dan kesedihan kawannya, saling berbagi apapun asam garam hidup ini. Mengapa aku baru tersadar sekarang, apabila aku dulu mengalah dan terus bertahan, memaafkan walaupun hanya untuk dimanfaatkan, maka akan banyak kawan diekelilingku, bukankah pada akhirnya akan ada yang mengangkat bebanku pula.
“Mengapa nenek baru pulang selarut ini?” tanyaku.
Sambil berjalan beliau berkata “ Hanya ini yang bisa nenek lakukan cu”
“Kemanakah anak nenek?”
“Entahlah cu, nenek hanya bisa berharap mereka semua hidup bahagia walaupun tanpa mengingat nenek”
Kulihat nenenku meghapiri nenek renta ini.
“Kenapa baru pulang Mbak yu?” kata nenekku
“Ini aku belikan sebakul nasi jagung untukmu, bukankah mbak menyukainya?”
“Mbak yu… Mbak yu, Mbak yu lebih berharga daripada sebakul nasi jagung ini”
“Sudah ayo kita masuk” tambah nenekku.
“Nenek, siapa dia?” tanyaku lirih
“Dia juga keluargamu, dia tinggal dengan nenek, dia adalah sahabat nenek dari kecil”
“Mengapa aku baru sekarang melihatnya, bukankah jika dia tinggal disini aku sudah mengetahuinya seminggu yang lalu?”
“Begitulah cu kegiatannnya, dia berjualan dikampung sebelah, dan paling lama dia pulang seminggu sekali cu, dan setiap kali pulang pasti membawakan apa yang aku sukai”
“Mengapa nenek tidak melarangnya, bukankah fisiknya sudah terlalu renta?”
“Akankah cucu biarkan nenekmu ini mematikan semangat dan kebahagiaannya?”
“Tapi kenapa tidak nenek carikan anak-anaknya, bukankah ia akan bahagia walaupun hanya sekali bertemu mereka?”
“Simpan pertanyaanmu itu cu, nenek lebih tau tentang mbak yu dari pada kamu”.
“Lantas mengapa nenek mengizinkannya tinggal disini?”
Sambil masuk kerumah nenekku menjawab, “Nanti kamu akan tau”
“Tau apa?”,
akupun berfikir dan memandang laptop diatas mejaku, kenapa aku tidak memulainya dari situ. “facebook”  aku akan mengawalinya lagi darisana. Akupun membuka akunku yang telah lama kutinggalkan, Wow banyak sekali friends request disisni, akupun mengapprov semuanya.
“Mengapa Kita Harus Berteman?” tanpa mencoba aku tidak akan pernah tau.
“hai” kudapat chat dari seseorang, kubalas chatnya dengan kata-kata pembuka umumnya, dan kamipun mengakhirinya denga salam, terimakasih dan pola J .
***

Mengapa Kita Harus Berteman?, pertayaan itulah yang mampu menjadi start kehidupan baruku, lewat pertanyaan itu tanganku mulai bisa menjabat, dengan senyuman aku memandang kawan-kawan baruku itu. Satu hal yang kudapat dari mereka cobalah dahulu sebelum berkomentar.

Didalam perjalanan pulang aku menghampiri seorang gadis yang duduk dibangku taman, kulihat ada kesedihan terpampang jelas diwajahnya. Kusodorkan tanganku  “Hai, aku Diaz” . “Aku lisa” ujarnya.
Aku sedikit terkejut saat mengetahui namanya,  namun semua itu terhapus dengan saatu kalimat, “Bukankah didunia ini banyak nama yang sama?”
“Kenapa kamu sendrian disini?”
“Tidak papa.. aku hanya… hanya..”
“Hanya merasa bersalah karena telah meninggalkan seorang Andiaz Saputra” sahutku.
“Mengapa kamu tau, apakah kamu Diaz itu?” tanyanya ragu.
Kemudian aku memalingkan punggungku padanya.
“Untuk apa kau mengejarku, aku mau pulang” bentakku
“Bukankah kamu temanku?”
“huh.. Teman” jawabklu remeh.
“Lalu mengapa kita harus berteman Lisa? dua tahun, dua tahun tanpa kabar, pergi tanpa berpamitan, sekarang kau bilang kita ini teman”
“Diaz” panggilnya
“Stop. biarkan aku pergi”.

Akupun beranjak pulang, dirumah aku melihat nenekku duduk mengobrol dengan nenek yang dipanggilnya mbak yu.
“Untunglah Mbak Yu kita tidak hanya berteman”
apa maksud dari perkataan itu?, aku meletakkan tas punggungku dan memulai membuka akun facebook. Kemana mereka semua?, kenpa tidak ada yang online? batinku.
 Aku tau sekarang , tanpa berfikir panjang kutinggalkan laptopku dan berlari menemui Lisa, kuihat dia menangis dibawah pohon tua

“Maafkan aku lis”
“Diaz” ujarnya.
“Semua ini adalah salahku yang terlalu egois, andaikan aku tidak egois aku tidak akan membuatmu begini”
“Sudahlah Diaz aku juga bersalah”
“Mengapa kita tidak melupakan hal yang telah berlalu dan memulai sesuatu yang baru” pintaku
“Itu berarti kita akan berteman lagi?’tanya lisa
“Mengapa Kita Harus Berteman?” jawabku
“Apa” kulihat kekagetan diwajahnya

“Aku tidak mau kita hanya berteman, teman adalah seseorang yang hanya menenmanimu disaat kamu merasa sepi, bukankah kamu sering mendengarkan ucapan meminta “Maukah kamu menemaniku hari ini”, bukankah itu berarti permintaan sementara dan bukan untuk selamanya, setelah kepentingan selesai akankah kamu akan ditemani ataupun menenmaninya? Lalu Mengapa Kita Harus Berteman?, aku tidak mau kamu hanya menemaniku disaat sepi, dan menjauh disaat ramai datang menghampiriku”
 “ Akankah kamu bersahabat denganku?”
“Mengapa kita harus bersahabat?” tanyanya
Kupandang dia dengan senyuman

“Akankah kamu tahu sahabat adalah teman tanpa mengenal batas masa, sahabat bukan hanya teman penghilang sepi, namun sahabat adalah seseorang yang akan selalu menemani, saling berbagi baik suka ataupun duka, baik jauh maupun dekat. Bukankah selama ini kamu masih mengingatku, menyimpan penyesalanmu karena telah meninggalkanku, lantas mengapa kamu masih menyimpan rasa sesal itu?
Kalau kita bisa menjadi sahabat, Mengapa Kita Harus Berteman?”
Kulihat senyuman kecil tergambar jelas di wajahnya kemudian dia menatpku penuh tanya.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan saat ini Lis”
kutatap jauh kedalam bola matanya dan aku berkata
“Aku tidak akan menjadikanmu seorang kekasih, jangan kamu bertanya mengapa, tidakkah kamu tahu ikatan itu akan menghancurkan persahabatan kita, apabila ikatan tersebut kandas, bukankah kamu akan merasa malu, marah dan dendam kepadaku, lantas kemudian kamu akan mengumbar privasiku, ketahuilah Lis, persahabatan tidak akan pernah memisahkan segalanya, walaupun nantinya kita tidak berjodoh pada akhirnya kita akan menjadi saudara, namun apabila Tuhan telah mengukuhkannya, siapa yang mampu menghentikannya? apabila saatnya telah tiba aku akan mempersuntingmu dibawah payung persahabtan kita”

“Terimakasih Diaz”
“eitss… jangan biarkan dekapanmu itu menghampiriku, karena aku tak ingin persahabatan kita dikotori oleh nafsu”
Kami berdua hanya saling memandang dan akupun berkomando “Kejar aku” seraya aku berlari menjauhinya. Kuarahkan wajahku kehadapan langit, Terimakasih ayah, ibu, karena kalian telah menunjukkan jalanku, dan begitupula kepada kedua nenekku , satu yang kuketahui dari mereka adalah persahabatan mereka lebih awet daripada raganya.
Berusaha untuk mengalah pada kepentingan tak berarti, itulah yang kehidupan desa ini ajarkan. Mengalah untuk teman apabila hal tersebut dapat merusak persahabatan dan tidak membawa faedah . Namun adakalanya ada sebuah kemenangan dalam seratus kali kesalahan, reach your win without damage your friendship. Ambillah kesempatan itu untuk memenangkan hal besar dan penting dalam hidupmu. Dan alangkah indahnya apabila berhasil meraih kemenangan itu bersama sahabat. Jangan pernah merasa tersakiti ataupun menyakiti. Tidakkah engkau tahu betapa sakitnya apabila disakiti oleh orang lain itu, terlebih apabila orang lain itu adalah kolega seperjuanganmu. Inilah sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh nenenk-nenenkku itu “Jangan pernah mencoba untuk menyakiti seorang sahabat dengan ego, keputusan dan kehendakmu, namun carialah jalan tengah diantara itu yang pada akhirnya akan melanggengkan persahabatanmu dengan win win solution tanpa mempecundangi pihak lainnya”.



                                                                                                                                       Authentic short story by : Rofi  M.A.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar