Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sebatang Coklat Untuk Adinda


    Masa SMA merupakan awal penorehan warna dalam lembaran-lembaran kosong ku, siapa sangka di SMA inilah kutemukan apa yang menjadi mimpiku dan apa yang selalu ada dalam benakku.
Tanah Mimpi, begitulah aku menyebutnya. Tempat dimana kini aku bernaung sebagai seorang  yang sedang menjalani program pertukaran pelajar. Aku merasa tertantang ketika aku mengetahui bahwa tempat ku adalah Tanah Mimpi, tanah yang terkenal dengan keeksotikannya yang juga merupakan bagian dari Indonesia.
kupikir semua akan berjalan secara sederhana, namun ketika ku dapati kondisi SMA yang jauh dari kata layak, diriku bertanya inikah Tanah Mimpi itu? Tak heran jika kini warga Tanah Mimpi ini bernyanyi “Island Dream Deman Justice” Ditengah-tengah kondisi ini aku selalu bertanya kemanakah larinya otosus untuk Tanah Mimpi ini?.
Beruntung, di sini aku tinggal dirumah seorang penduduk lokal dengan kearifan yang luar biasa. Nilai-nilai ketimuran masih dijaga betul disini, maklum wilayah ini masih belum terjamah teknologi-teknologi barat. Hanya sebuah jalan rayalah yang menjadi bukti masuknya dana pemerintah diwilayah ini. Akupun tak pernah tau bagaimanakah kondisi disini sebelumnya. Yang kutahu hanyalah Minyak kayu putih, sarang semut , bertani dan nelayan sebagai mata pencaharian utama di wilayah ini. Saat aku masuk sekolahpun kurasakan suasana 180 derajat berbeda dengan di Jakarta, jarang sekali aku menemukan kondisi kelas yang nihil, ketika kutanya mengapa mereka absen jawabnya hanya satu, membantu orang tua bekerja. Dari sini aku bisa mengetahui mengapa sekolah ini tetap bertahan walaupun dengan siswa yang sangat pas-pasan setiap harinya. Disini hanya ada 10 orang guru yang mengajar 3 tingkat kelas berbeda. Aku tidak dapat membayangkan apa jadinya bila sekolah ini terpaksa bubar kerena kekurangan siswa, pasalnya ini adalah satu-satunya SMA di tanah mimpi ini.
***
“SMA Bhakti Tanah Mimpi” disinilah sekarang aku belajar, Akses menuju SMA ini  lumayan jauh dari tempat tinggalku sekarang. Semua harus ditempuh dengan berjalan kaki, melewati hutan, menerobos sungai dan berjibaku dengan jalan-jalan terjal perbukitan.
Jarak 3Km biasa kutempuh dengan waktu 30 menit. Beruntung disini aku tidak sendirian, aku mempunyai banyak teman. Diantaranya adalah Adinda, seorang gadis yang juga berasal dari Jakarta. Dia tinggal di sini semenjak ayahnya dipindah tugaskan ke sini . ayahnya adalah seorang pengajar yang bertugas mengajar disalah satu SMP di Tanah Mimpi ini. Tak kusangka seorang warga ibu kota mampu bertahan di daerah terluar ini. Selain itu  kegiatan belajar mengajar disini dimulai dari pukul 07.30, memang berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang dimulai dari pukul 06.30, kebijakan ini mungkin dihasilkan karena berbagai pertimbangan, diantaranya adalah faktor jarak tempuh.


Seperti hari disekolah-sekolah lainnya, kami mengawali pelajaran dengan apel pagi, Jiwa nasionalisme terhadap bangsa masih terpatri utuh di hati remaja-remaja tanah mimpi.       
“Apa hanya seperti ini?” itulah kata pertama yang terucap saat aku mengetahui proses pembelajaran yang didampingi dengan sarana prasarana yang jauh dari kata cukup. Keterbatasan pengajar dan minimnya komponen-komponen pendukung bukanlah hal yang berarti yang dapat menghalangi niat remaja-remaja disini untuk mengenyam bangku pendidikan. Disinilah mereka menggantungkan asanya. “never say give up” masih tergambar jelas di raut muka mereka.
Terlepas dari kondisi tersebut aku masih bersyukur sekolah ini masih lebih baik dibandingkan kondisi “laskar  pelangi”.
 “Din aku boleh bertanya sesuatu”? Tanyaku.
“Boleh”
“Kenapa kamu mau hidup di daerah terpencil ini ”?
Kalian tau apa jawab adinda, ia hanya tersenyum dan berkata “sebuah pengabdian”.
Dari  kata yang ia ucapkan aku jadi mengerti, betapa besar dedikasi orang-orang Tanah kecil ini.
***
Malam disini sungguh sunyi,tanpa listrik dan hanya nyala api yang jadi pelita . tak kusangka masih ada kehidupan sesederhanan ini.
Tok..tok..tok…tiba-tiba suara pintu terdengar, ku lihat Adinda berdiri dihadapan pintu,
“ada apa din…?”
 “Aku Cuma bosan ris, aku berada dirumah sendirian, orangtuaku sedang pergi ke pusat kota dan aku biasa menunggu mereka disini, kalau kamu tidak keberatan kamu mau temenin aku nggak?”
Aku hanya mengangguk kecil saja, karena kutahu suasana disini memang sepi sekali. jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya juga lumayan cukup jauh, ditambah lagi dengan tiadanya media penerangan dan komunikasi yang mendukung.
Kemudian aku mengajaknya duduk di beranda depan, aku tak tau apa yang harus kukatakan, bagiku dia adalah gadis pertama yang menemuiku langsung, biasanya di Jakarta aku tak pernah perduli dengan mereka. Dalam logikaku mereka adalah sama, mengajarku hanya demi sebuah status, mendekatiku haya demi sebuah ikatan hubungan atau mungkin yang mereka cari sebenarnya bukanlah aku, namun perhatianku, materiku dan mungkin hanya menunjukkan rasa terimakasih mereka. Namun aku tak melihat semua itu pada diri Adinda, keluguannya mencerminkan perilakunya.
“ Biasanya mereka pulang jam berapa din?”
“tidak pasti, semua tergantung dengan kondisi, kadang mereka harus pulang pagi akibat hujan yang menambah buruk infrastuktur disisni”
Dari kejauhan terlihat seorang berseragam safarai dengan kerut diwajahnya yang menggambarkan betapa besar perjuangannya, tatapan matanya membutku memberikan sebuah senyuman kecil yang beliau sambut dengan anggukan kepala.
“Faris, itu ayah dinda”
“Kamu sering menunggu disini ya?”
“biasanya aku disini di temani dengan mama Ina, pemilik rumah ini, berhubung beliau ada keperluan jadi  mama Ina menyuruhku untuk menemuimu”
“Apa kabar?” itulah sapa ayah dinda yang kudengar pertamakali,
lecture beliau menggambarkan sebuah kearifan, tanpa ragu akupun menjabat tangan kanannya.
Dengan ucapan selamat malam dan terimakasihlah pertemuan kami malam ini berakhir.
Keesokan paginya kurasakan hawa sejuk dan tenang dengan kabut tipis yang menjadi selimut, kulihat aktifitas disini sudah mulai bergeliat, walaupun hari ini adalah hari libur, namun yang kusaksikan seperti tak ada libur di dalam kehidupan mereka. Berbeda dengan lifestyle orang-orang di kota-kota besar yang memanfaatkan akhir pekannya untuk bermalas-malasan, bepergian ataupun refreshing ke taman-taman hiburan. Di awal hari ini aku melihat senyuman-senyuman kecil yang sudah mulai terlukis, etos kerja dan semangat menjadi awal keseharian mereka. Keramahan-keramahan mereka kepadaku mampu mengubah hawa dingin menjadi kehangatan-kehangatan ikatan keluarga. Akupun mencoba untuk melangkahkan kaki menyusuri geliat-geliat kehidupan disekitar. Dari sini aku menemukan apa yang dinamakan hadir dalam kehidupan, kondisi dimana kita mampu menerima dan mensyukuri keadaan yang ada walaupun sebenarnya itu adalah sulit,  yang terpampang disini hanyalah semangat cinta cinta keluarga yang menghantarkan kepada semangat bekerja, cinta kepada orang tua yang mampu memicu darah kaula muda terkalahakan dengan kata “ya”. Tangan-tangan kecil mereka mengukir kebanggan orang tua mereka. Sejenak aku terhenti dan menatap pantulan wajahku disebuah sungai kecil, “apa yang telah aku berikan kepada dua orang tuaku selain duka dan derita?’ aku terpaku membandingkan diriku dengan semangat-semangat mereka.
“faris”
Kulihat dinda datang menyapa
“dinda” balasku
“sedang apa ris?”
“aku hanya jalan-jalan sebentar din, kamu sendiri?”
“sama faris, aku juga mengawali mingguku?”
“din kamu mau ngaak ngajak aku ketempat yang paling indah disini”
“boleh, kebetulan aku punya tempat favorit disini”
“oh ya? Dimana?”
“sudah jangan banyak bertanya, ikuti saja aku”
Perkataan dinda membuatku penasaran akan tempat tersebut, pasalnya didaerah sini hanya didominasi oleh hutan dan perbukitan, sungainyapun hanya sungai-sungai kecil biasa.
“ayo faris” dinda menarik lenganku, entah kenapa aku menjadi gugup rasanya aku seperti tak mampu untuk melepaskan genggaman lembutnya, aku merasakan ada kenyamanan saat dia menggandeng tanganku.
“faris”  dinda menoleh kearahku dan menghentikan langkahnya.
“ada apa din”
“dari sini kamu harus menutup mata”
“apa?” sahutku kaget.
“sudah ikuti saja petunjukku” kemudian dinda menutup mataku dengan tangan mungilnya, aku menjadi semakin gugup, dan kami berjalan beberapa langkah kemudian berhenti disebuah titik.
perlahan-lahan dinda melepaskan tangannya dari mataku, kemudian tampaklah sebuah eksotika alam yang belum terjamah oleh tangan-tangan biadab manusia, gemercik air mengalir jernih, deretan perbukitan menjadi pagar alam, tampaklah beberapa remaja yang sedang bermain air, sebagian dari mereka membantu orang tua mereka menangkap ikan, dengan peralatan-peralatan sederhanlah mereka gantungkan hidupnya. Tampak pula penebang-penebang pohon sagu yang masih tetap memperhatikan cara menghargai alam, mengolah batang-batang sagu didekat aliran sungai dengan cara-cara yang sangat sederhana, sungguh kegotong royongan mereka tergambar jelas dalam endapan-endapan tepung sagu.
“Indah”
“sungguh indah” hanya kata-kata itulah yang dapat kuucapkan, kemudian aku mengajak dinda untuk bersaksi atas semangat-semangat dan cinta mereka, hingga akhirnya kami berhenti dan duduk diatas batu yang terletak ditepian sungai. Kuceburkan kakiku disini, lalu aku sandarkan punggungku di pohon belakangku.

“din’
“iya”
“aku punya sesuatu untukmu”  kemudian kusodorkan sebatang coklat yang kubawa dari Jakarta.
“Ini coklat buat kamu, terimakasih telah mengajakku kesini”
“coklat?”
“iya coklat”
“Di Jakarta coklat digunakan untuk menunjukkan rasa sayang kepada orang-orang yang dicintai, dan ini adalah satu-satnya coklat yang kumiliki sekarang”
“itu berarti…”
“stttss.. “ aku menutup bibir adinda dengan satu jari telunjukku.
“jangan berkata apa-apa, cobalah kamu menikmatinya”
Dinda hanya terdiam, pandangannyapun tertuju pada satu titik, tak kusangka ada seorang pemuda kecil lokal yang melihat kami dari tadi, ku lihat dia memandang ingin pada bungkusan di tangan adinda.
Aku memandang adinda, kemudian aku melihat paras lugu dari sikecil lokal.
“faris, aku tau apa yang sedang kamu pikirkan, dan aku juga berpikir demikian” lantas dinda memberikan sebatang coklat tersebut untuk anak kecil itu, aku hanya tersenyum kecil “ kamu benar-benar baik din, kamulah orang yang selama ini aku cari, kamu mengerti apa yang tidak orang lian mengerti, dan kamu tau apa yang tidak orang lain tau, aku janji aku akan memberikanmu sebatang lagi”
Dia memegang tanganku dan kudengar bibir mungilnya berkata “Terimakasih faris, itulah yang aku pikirkan dan kurasakan semenjak aku bertemu kamu, aku melihat dirimu berbeda dengan yang lain, kearifanmu setara dengan apa yang kulihat pada diri ayahku”
“Baiklah din, setidaknya aku tau apa yang ada dalam kalbumu sama seperti yang ada didalam dadaku”.
Kemudian kami melanjutkan jalan-jalan kami, dengan tangan yang tergandeng satu sama lain.Pada saat ini aku merasa benar-benar menemukan apa itu yang disebut dengan missing piece, yah…  you ‘re the missing piece. Dari dindalah aku bisa mengetahui jangan pernah merasa kosong dan dari kearifan lokallah aku mengetahui never say despair.
***



Sesampainya di boarding home ku, aku berfikir dimana aku bisa mendapatkan sebatang coklat lagi? Tak ada toko besar disekeliling sini, akupun memutuskan untuk pergi ke kota, dengan sepeda kayuh milik mama Ina aku menuju kota secara perlahan, dari pencarian coklatku ini aku menjadi lebih mengerti apa yang penduduk lokal sini rasakan, dengan cinta yang jauh menjadi dekat, dengan cinta yang berat menjadi ringan, itulah semangat mereka yang mereka dedikasikan kepada keluarga ataupun anak-anak tercinta mereka. 4 jam aku mengayuh pedal renta, sesampainya di kota aku tidak menemukan apa yang aku cari, yang mereka sediakan hanya biji-biji kakao kering dan buah kakao. “sudikah dia memakan ini?” itulah pertanyaan yang mendampingiku pulang kerumah milik mama Ina.
“apa kamu sudah gila faris?” itlah bayanganku ketika aku berfikir memberikan biji kakao dan buah coklat kepada dinda. Niatkupun ku tunda untuk beberpa waktu.
***
Pagi berikutnya aku berangkat kesekolah seperti biasa, dengan dinda, patric, titus, Gabriella dan montez.
Kami mengawali pagi ini dengan apel seperti biasa. Dikelas aku mencoba memandang wajah dinda yang berada jauh di depanku, smabil memperhatikan pelajaran yang ada aku selalu berpikir kata apa yang akan kudapatkan saat kuberikan sesuatu itu kepada dinda, “apakah aku harus membatalkan janjiku?”
“ah.. tidak”
Kemudian aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan membahas soal-soal kecil didalam bukuku,
“kasih sayang tak memperhatikan apa yang akan kau berikan, kasih sayang juga tak memperhatikan apa yang kau miliki, bukankah adakalanya satu milyar itu terkalahkan dengan sebuah ban dalam bekas?, disaat seorang terlempar ke lautan cobalah engkau memberinya uang 1 milyar, bukankah dia akan mengabaikannya? Namun disaat engkau melemparkan sebuah ban dalam bekas yang nilainya jauh, jauh dan sangat jauh dibandingkan 1 milyar, bukankah ia akan menggapainya. Kasih adalah engkau cinta bukan berterimakasih, seeorang yang mencintaimu karena kebaikanmu, ia adalah seseorang yang ingin berterimakasih kepadamu, seseorang yang menyayangimu karena pemberianmu, sesungguhnya yang dia harapkan adalah materimu, lantas apa yang akan kau harapkan dari dia?”
Itulah penggalan kata yang dibaca oleh patric saat ditanya apa inti dari penggalan buku yang ia baca, dari sini aku tersadar, bukan nilai atau rasa dari pemberianku ini yang mengandung arti, apabila dinda benar-benar cinta kepadaku yang ia terima dan rasakan bukanlah perwujudan dari benda-benda ini, namun yang akan ia rasakan adalah makna apa yang terkandung didalam sini, kemudian aku menatap dinda “din, apabila kau memang untukku maka kamu akan mengerti maksudku”.
Di saat malam tiba aku beranjak menuju rumah dinda dengan membawa biji-biji kakao yang aku tahu pahit rasanya, dan juga buah kakao yang aku tahu asam rasanya. Perlahan aku mengetuk pintu rumah dinda  tok..tok..tok…
Ayah dindapun keluar
“selamatmalam om, dinda ada?”
“faris, kebetulan om dan tante akan berangkat ke kota, kamu temani dinda disini ya, sampai kami datang”
“tapi om”
“sudah om percaya sama kamu”
“dinda, ini ada faris, dan ayah ibu berangkat sekarang”
“hati-hati om, tante” ujarku
“faris, ada apa?”
Akupun mengajak dinda keberanda depan,
“begini din akukan kemarin menjanjikan ganti dari sebatang coklat yang kamu berikan kepada anak kecil kemarin, nah ini aku bawakan walaupun mungkin tidak seperti yang aku janjikan dan mungkin kamu tak mengharapkannya” aku menyodorkan biji-biji coklat yang telah matang dan juga buah coklat dengan kepala yang tertunduk.
Tak kusangka dinda langsung mengambil sebiji buah kakao yang kusodorkan, “tapi din itukan…”
Jawabku ragu, dia hanya tersenyum “ aku tau faris tak ada pedagang coklat didaerah ini, bukankah kamu bilang sebatang coklat itu adalah satu-satunya yang kamu miliki , aku yakin rasa biji kakao ini lebih enak dibandingkan dengan coklat, walaupun aku tak pernah memakan apa itu coklat semenjak aku disini”
“terimakasih din”
“yang membuat kakao ini terasa enak bukanlah apapun kecuali dari niatmu yang tulus dan usahamu yang menambah manis rasa biji kakao ini”
“din, will yu be my special someone ?”
“apa?” jawab dinda terkejut.
“maaf faris aku memang suka dan sayang sama kamu, dan aku yakin kamu adalah yang terbaik tapi maaf aku tidak bisa melakukan itu tanpa sepengetahuan ayahku, I hope we will be best friend sampai waktu kita benar-benar cukup”
Akupun mengangguk dan berkata “Itulah jawaban yang ingin kudengar, keberbaktianmu kepada orang tuamu, itulah yang menambah kecantikan dirimu, karifanmu yang menghargai sesuatu bukan dari apa yang diberikan namun dari makna apa yang terselip, itu menambahkan keanggunanmu, jarang aku menemui orang sepertimu din, terimakasi adinda”. Kamipun mulai memakan biji kako dan buah coklat yang ada, rasa pahit buah kakao menggambarkan betapapun paitnya kehidupan apabila ditekuni dan diolah maka akan berubah menjadi sebatang coklat yang manis, dan betapa asamnya rasa yang dirasakan akan berubah manis apabila telah digodog dan diambil pelajaran darinya.
Akupun beranjak pulang disaat orang tua dinda datang. Maaf dan terimakasih itulah kata terindah yang menjadi penghujung pertemuan malam ini.
***
Keesokan paginya aku menrima surat yang menandai berakhirnya pertukaran pelajarku di Tanah mimpi ini. Dengan senyuman aku menyikapinya, aku bersyukur telah mengucapkan apa yang seharusnya kau ucapkan, dan aku berterimakasih kepada kehidupan lokal yang telah banyak memberiku falsafah kehidupan. Kemudian aku menemui dinda untuk mengatakan kabar ini
“din, sudah saatnya kau kembali ke Jakarta”
Aku hanya melihat dia tersenyum
“Din, kamu marah ya, kenapa disaat kita mulai bisa menghargai dan mengerti satu sama lain aku harus kembali, itukan kata yang ingin kamu ucapkan?”
“kamu salah faris, apa yang mengharuskan aku untuk menahanmu?, bukankah memang kehidupanmu berada disana”
“tapi din…”
Dinda menutup bibirku dengan jari telunjuknya “faris, kita akan bertemu lagi, apa yang membuatmu khawatir? Aku akan lebih bersedih apabila aku menjadi penahanmu disini, diwajahmu tergambar jelas ris apa yang sebenarnya kamu inginkan”
“thanks din, sekali lagi kamu telah mengerti apa yang ada didalam fikiranku”
akupun beranjak untuk kembali ke Jakarta, hanya satu kata yang dapat kuucapkan disini, semoga penjajahan teknologi yang pasti akan datang suatu saat nanti tidak akan merubah komitment, semangat dan kearifan kalian.

***
Di Jakarta aku memulai hariku dengan kegiatan-kegiatan bisa, disekolah aku menceritakan tentang kearifam walaupun didalamnya ada sebuah ketertinggalan, semangat walaupun didalamnya terkandung sebuah keterbatasan, dan dedikasi walaupun sebenarnya dihimpit dengan ketidaksanggupan.
Tak terasa pula setahun telah berlalu, aku masih mengingat jelasa siapa dinda dan apa yang dikatakannya, dihari libur ini aku berencana pergi untuk membeli coklat sambil bernostalgia. Senyuman-senyuman kecil menghantar perjalananku saat kuingat biji-biji pahit kakao dan keasaman buah coklat yang menghantarkanku kepada seorang berbudi yang tinggal di Tanah mimpi.
“adinda aku akan selalu mengingat siapa dirimu, aku berjanji disaat ada kesempatan nati aku kan menemuimu kembali”.
“mbak, coklatnya habis ya?” tanyaku kepada penjaga minimarket
“tadi ada sebatang mas” ujarnya
“apa tidak ada stok lagi mbak?” tanyaku
“tadi masih ada mas, dan belum ada transaksi disini, jadi masih ada”
”baiklah mbak akan ku cari sekali lagi”
Kemudian aku kembali menuju tempat coklat..
“gimana sih mbak ini, jelas-jelas sudah gak ada”gumamku
Kemudian aku terkaget dengan sodoran sebatang coklat didekatku
“Ini buat mas aja, mungkin mas lebih mengiginkannya dibanding aku”
Tanpa menoleh dan berfikir panjang aku mengambil coklat itu dan berkata
“nah ini yang kau cari, thanks ya”
Tapi saat aku menolehkan kepalaku aku terkejut
“dinda?” tanpa terasa coklatkupun terjatuh
“hai, faris apa kabar” sapanya
“tapi… tapi.. gimana kamu bisa kesini?” tanyaku gugup.
“akukan dulu kan pernah bilang kita pasti bertemu lagi”
“tapi bagaimana bisa?”
“ayahku dipindah tugakan ke Jakarta, jadi kami menetap disini, tak kusangka ya kita bertemu disini”
Akupun membeli coklat itu dan mengajak dinda untuk ketaman kota disini.
Dengan bangganya aku mengatakan “ din ini sebatang coklat untukmu”
Dia hanya tertawa
“kenapa din, bukankah aku sudah menepati janjiku?”
“sayangnya aku lebih suka biji kakao dan buah coklat dibandingkan dengan sebatang cokalat ini”
“apa?????”
Dan pada akhirnya sebatang coklatlah yang mempertemukan kami, dengan kesabaran dan keyakinan apa yang tidak mungkin terjadi bisa menjadi sebuah kenyataan, cinta dan semangat adalah hal yang tidak akan pernah mati, karena cinta dan semangat engkau bisa menggapai apa yang kami gapai, dan karena cinta pulalah yang membuatmu menghancurkan dirimu, perampok membunuh karena cinta terhadap keluarganya, pencopet mencopet demi cinta terhadap anak-anaknya.
Berusahalah untuk kebaikan cinta, dan satu pertanyaan yang kutinggalkan untuk kamu manakah yang lebih baik “mencintai” atau “dicintai”.



authentic short story by : Rofi M.A

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar